Caution!!! Tulisan ini sangat beraroma filosofis. Disarankan untuk menyiapkan aspirin sebelum membaca. Jika mengalami gejala berikut disarankan untuk beristirahat; kepala panas, tubuh gerah, resah, mual, dan mengantuk. Dan tidak dianjurkan melanjutkan membaca jika mengalami gejala; pusing2, bingung2, tubuh gemetar, mata berkunang2, dan muntah.
Segala sesuatu yang tertulis hampir seluruhnuya subjektif, yang didasarkan berbagai sumber dan referensi seumur hidup, buku2, diskusi, ngobrol, dan kongkow.
Segala hal yang tertulis masih dapat diperdebatkan dan saya membuka seluas2nya ruang debat dan diskusi. Jadi, mari cek barang2 bawaan anda jangan sampai tertinggal atau terselip. Terima kasih.
Setelah nanti membaca beberapa saat, mungkin kalian bertanya2 "apa hubungannya dengan judul di atas?". Sekarang memang belum, tapi ikutin aja dulu lah yah, hehehe...
Beda Langit dan Bumi
Ga ada, itu jawabannya. Alasan gampangnya adalah karena langit itu sebenarnya tidak ada. (krik...krik...krik...124x
Oke, udah gw duga jawaban singkat ga akan diterima dengan mudah. Jadi, mari kita pakai cara sulit.
Sekali lagi, ini subjektif, walau begitu gw punya dasar. Langit yang ada di atas atap rumah kita selama ini hanya sebuah kamuflase. Konsepnya seperti fatamorgana yang terjadi di gurun, hanya saja dengan faktor pembentuk yang berbeda.
Jadi, saat kita terbang menuju ke atas, terus hingga berusaha menembus kapas terbang dan lapisan biru, perjalanan tersebut akan berujung pada pemandangan outer space seperti yang kita lihat pada langit malam hari.
Warna yg kita lihat pada siang, senja, pagi, langit perkotaan, dan langit pedesaan, adalah hasil tabrakan antara cahaya dengan partikel di udara. Hal itu juga melibatkan panjang gelombang cahaya, pembiasan, pemantulan, dsbg, yang sampai saat ini pun gw belum paham betul gimana cara kerjanya. Jadi kita CUT aja gimana? Setuju!!!
Intinya langit itu tidak ada, dan warna yang terjadi di atas sana adalah kamuflase hasil tabrakan cahaya yang bisa berubah tergantung komposisi udara.
Lalu kenapa jawaban ‘beda langit dan bumi’ adalah ‘tidak ada’. Ya, bagaimana bisa kita membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Bumi yang real, bisa ditonjok2, dijilat2, dilompat2in, dibandingkan dengan langit yang tidak bisa dipegang, dirasa, dicium, dihirup, dan hanya merupakan tipuan mata.
Jadi mereka berdua adalah tidak bisa diperbandingkan satu sama lain. Hahahaha... (apa pentingnya coba ketawa)
Gula dan Garam?
Hal serupa tapi tak sama ada pada pertanyaan “enak mana antara gula dan garam?”
Kalo disuruh jawab, hayo mau jawab apa? Orang pada umumnya akan menjawab ‘gula’ atau ‘garam’, bergantung pada frame of reference dan field of experience mereka, yang sepenuhnya subjektif.
Tapi, kalau mau ditelaah lebih teliti, sebenarnya pertanyaannya yang aneh. Bagaimana ceritanya?
Pertama, ada prinsip dasar dari hukum perbandingan, yaitu equality, atau kesetaraan. Prinsip yang diciptakan manusia dan sejujurnya terus menerus dilanggar oleh manusia sendiri. Tergantung mana yang dibutuhkan untuk mencapai tujuannya, keberpihakan atau keberpalingan atas kesetaraan ini.
Jadi pada dasarnya perbandingan hanya bisa dilakukan diantara unsur-unsur yang setara. Kita langsung aja ke contoh.
Mana yang lebih enak pizza atau martabak? Jawabannya tentu tergantung nanya ke siapa. Ke si Doni yg suka martabak atau si Alex yg suka pizza.
Tapi kalo kita tanya org skeptis kritis yg ga begitu suka keduanya, apa kira2 jawabannya. “Ga bisa diperbandingkan”, (kenapa), “karena keduanya adalah dua makanan yang berbeda, memiliki karakteristik yg berbeda, dan kelezatan khas yang berbeda juga”.
Enaknya martabak berbeda dengan rasa enaknya pizza. Dan keduanya enak. Kalau mau adil harusnya pertanyaannya ‘lebih enak mana, Pizza Hut atau Paparonz’. Karena keduanya adalah pizza, dan kita menilai dua hal yang sama yaitu ‘pizza’, ya kan?
Garam dan gula walau keduanya termasuk bumbu masak, tetap dua hal yg berbeda. Kalau dijilat bulet2 tentu lebih bersahabat gula, kalau dicampur kuah berbakso tentu enakan garam, kalo dimasukin ke teh panas tentu enakan gula, kalau dicampur popcorn, sayur sop, adonan bolu, telur ceplok.
See? Semua bergantung konteks, dan konteks yang ada adalah tidak berhingga. Kita bisa saja mencampurkan gula dan garam pada seribu jenis benda, dan menghasilkan jawaban yang tidak tentu. Bisa saja menang garam, bisa saja menang gula.
Itu jelas karena garam dan gula bukanlah dua unsur yang setara untuk diperbandingkan. Keduanya berbeda, baik unsur pembentuknya, fungsinya, keasikannya, bentuk partikelnya, dan hasil jilatannya (apa sih...)
Sejujurnya pola pikir seperti ini membuat di dunia ini, perbandingan adalah hal yang mustahil. Karena tidak ada dua hal yang benar-benar diciptakan sama sekali persis, untuk memenuhi prinsip kesetaraan.
Jadi yang bisa dilakukan adalah membandingkan dua hal yang memiliki kesetaraan paling dekat, untuk memenuhi prinsip equality tersebut. Dan keadaan tersebut lah yang selama ini dipandang sebagai perbandingan yang adil.
Normal dan Tidak Normal
To the point aja, apa itu normal, dan apa itu tidak normal? Kali ini jangan dulu sentuh ‘contoh’. Jadi jauhkan tangan anda dari jawaban seperti; (manusia) satu kepala normal, dua kepala tidak normal.
Kata Pa Guru di SMP, ‘normal itu wajar’. Kata Guru SMA ‘normal itu yang banyak dilakukan orang’. Kata mahasiswa yg lagi kongkow di bawah pohon rindang, ‘sama seperti kebenaran, normal itu sekedar hegemoni kaum mayoritas’.
Normal bukanlah nilai suatu kewajaran. Bukan pula nilai sesuatu yang seharusnya. Juga bukan nilai suatu kebenaran.
Sependapat dengan orang2 kongkow di bawah pohon, normal adalah menjadi sama dengan orang banyak. Setuju dengan guru SMA yg pintar, normal itu bertindak sesuai tindakan orang banyak.
Berperilaku, berpikir, makan, tidur, berpakaian, seperti orang banyak. Beraktivitas, mandi, rekreasi, bekerja, menari, berjalan, menyanyi, bercinta, meludah, berolahraga, berkebutuhan... (seperti orang banyak)
“You are the alien!”
“No! You are the alien! You’re in my planet now!”
(dialogue from Planet 51 movie, TriStar Pictures)
(tobe continue...)
0 komentar